Barak.id – Serangan udara besar-besaran kembali mengguncang Ukraina pada Jumat dini hari (6/6/2025), ketika Rusia melancarkan rentetan rudal dan drone ke sejumlah wilayah, termasuk ibu kota Kyiv. Serangan ini menyebabkan sedikitnya empat orang meninggal dunia dan puluhan lainnya terluka, disertai kerusakan parah pada bangunan sipil.
Serangan dilakukan menggunakan rudal balistik dan drone serang tipe Shahed, yang diduga berasal dari Iran. Di kota Kyiv, sebagian besar serangan berhasil dipatahkan oleh sistem pertahanan udara Ukraina. Namun, serpihan rudal yang berhasil dijatuhkan memicu kebakaran di berbagai distrik seperti Solomyanskyi, Holosiivskyi, dan Darnytskyi.
Kebakaran terbesar terjadi di sebuah gedung apartemen berlantai 16 di kawasan Solomyanskyi. Lantai 11 bangunan itu dilalap api akibat puing-puing rudal, dan tim penyelamat berhasil mengevakuasi tiga penghuni dari dalam gedung.
Wali Kota Kyiv, Vitali Klitschko, menyampaikan bahwa sejumlah tim penyelamat masih bekerja di lapangan untuk memadamkan api dan mencari korban yang mungkin masih tertinggal. Selain gedung apartemen, sebuah gudang logam di wilayah lain juga dilaporkan terbakar akibat jatuhnya serpihan rudal.
Di Distrik Obolon, sistem pertahanan udara Ukraina kembali diaktifkan menyusul ancaman lanjutan. Serangan tidak hanya terbatas pada Kyiv—wilayah Chernihiv di utara Ukraina juga terdampak. Menurut Kepala Administrasi Militer Wilayah Chernihiv, Dmytro Bryzhynskyi, sebuah drone meledak dekat bangunan apartemen, menyebabkan kaca jendela dan pintu pecah akibat gelombang kejut.
Serangan ini menjadi salah satu yang terbesar dalam beberapa pekan terakhir dan menunjukkan bahwa ketegangan antara Rusia dan Ukraina belum mereda. Video udara yang beredar menunjukkan skala kehancuran akibat serangan tersebut, termasuk kobaran api dan puing-puing bangunan yang berserakan.
Menariknya, serangan ini terjadi hanya beberapa saat setelah pernyataan kontroversial dari mantan Presiden AS, Donald Trump, yang menyebut bahwa Ukraina dan Rusia “sebaiknya berperang sejenak” sebelum akhirnya didorong berdamai. Pernyataan tersebut menuai kecaman dari berbagai pihak karena dianggap meremehkan penderitaan warga sipil. (*)