Barak.id – Ketegangan antara Rusia dan Ukraina kembali memuncak setelah serangan drone besar-besaran dari pihak Ukraina menghantam salah satu pangkalan udara strategis milik Moskow. Lebih dari 40 pesawat tempur Rusia, termasuk pembom strategis Tu-95 dan Tu-22M—yang memiliki kapabilitas membawa hulu ledak nuklir—dilaporkan hancur dalam serangan tersebut.
Balasan Operasi Jaring Laba-laba Bisa Lebih Gila
Dikutip Barak.id pada Jumat (6/6/2025), Kirill Dmitriev, tokoh penting di lingkaran Kremlin sekaligus kepala Dana Investasi Langsung Rusia, mengeluarkan pernyataan keras. Ia menegaskan bahwa serangan tersebut bukan sekadar aksi militer biasa, melainkan dianggap sebagai serangan langsung terhadap komponen strategis kekuatan nuklir Rusia. Ucapan Dmitriev memicu kekhawatiran akan kemungkinan Moskow mempertimbangkan penggunaan senjata nuklir sebagai bentuk balasan.
Pernyataan Dmitriev juga diperkuat dengan laporan percakapan antara Presiden Rusia Vladimir Putin dan mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Dalam pembicaraan tersebut, Putin disebut telah menyatakan niat tegas untuk melakukan aksi balasan terhadap Ukraina. Trump sendiri mengonfirmasi bahwa Putin menganggap serangan terhadap pangkalan udara sebagai bentuk agresi serius yang menuntut respons sepadan.
Isu ini menimbulkan kecemasan luas di kalangan internasional. Beberapa mantan pejabat keamanan Amerika Serikat, termasuk Keith Kellogg—penasihat keamanan nasional di era Trump—menyuarakan keprihatinan bahwa tindakan Ukraina menyerang bagian dari kekuatan nuklir strategis Rusia bisa memancing reaksi yang tidak terduga. Ia memperingatkan bahwa konfrontasi terbuka antara Rusia dan NATO kini menjadi risiko nyata.
Ukraina sendiri sebenarnya telah melepaskan seluruh persenjataan nuklirnya pada tahun 1994, sebagai bagian dari perjanjian multilateral dengan jaminan keamanan dari Amerika Serikat, Inggris, dan Rusia. Kini, posisi Ukraina semakin terdesak karena ancaman balasan dari Moskow terus meningkat, sementara dukungan dari negara-negara Barat pun mulai goyah di tengah kekhawatiran akan eskalasi lebih lanjut.
Namun di sisi lain, sejumlah pengamat menilai bahwa Kremlin tengah memainkan ancaman nuklir sebagai bagian dari strategi tekanan diplomatik. Tujuannya, untuk meretakkan dukungan internasional terhadap Kyiv serta mendorong Barat agar menghentikan bantuan militer lebih lanjut. (*)